Tulus dari Perbatasan: Ipda Densy dan Suami Bangun Harapan bagi Anak-anak Kurang Mampu di Belu

Di balik seragam dan tugas sebagai abdi negara, Ipda Ristiany Densy Doko, S.H., menyimpan kisah luar biasa tentang cinta, pengabdian, dan pengharapan. Bertugas sebagai Kanit SPKT 3 Polres Belu, Polda NTT, di wilayah perbatasan Indonesia–Timor Leste, ia bersama sang suami, Aipda Nikodemus Dubu, S.H., mendirikan Yayasan Gracia Hati Mulia — sebuah rumah untuk anak-anak yang nyaris kehilangan harapan.
Yayasan ini menaungi Panti Asuhan dan PAUD Elshaddai, sekolah usia dini gratis bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu di Atambua Selatan, Kabupaten Belu. Semua biaya operasional, dari seragam, buku, makan minum, hingga biaya sekolah, ditanggung sepenuhnya oleh pasangan polisi ini.
Tak ada donatur tetap. Tak ada sponsor besar. Hanya semangat memberi dan keyakinan bahwa Tuhan akan mencukupi.
“Kami hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Kami sadar, banyak yang lebih membutuhkan. Ini nazar kami ketika saya dulu divonis sakit dan merasa harapan itu nyaris hilang,” kenang Ipda Densy dengan mata berkaca-kaca.
Dari pengalaman hidup yang mengubah pandangan, pada tahun 2019 ia dan suami membulatkan tekad. Mereka menyisihkan sebagian gaji sebagai anggota Polri, bahkan hasil usaha kos-kosan kecil, untuk membiayai anak-anak panti dan siswa PAUD yang kini telah berjumlah lebih dari 99 orang.
“Kami bukan orang kaya. Tapi kami percaya, saat membantu dengan hati, Tuhan akan cukupkan segalanya untuk anak-anak ini,” ujarnya dengan senyum tulus.
Kini, 13 anak tinggal penuh di panti asuhan, dibiayai sepenuhnya: makan, pakaian, sekolah, dan kebutuhan sehari-hari. Sisanya tetap disantuni setiap bulan, meski tinggal bersama keluarga.
Salah satu guru PAUD Elshaddai, Rulyin Vinelsye Djami, menyebut Ipda Densy sebagai pribadi rendah hati dan bertanggung jawab, bahkan mengusulkannya sebagai kandidat Hoegeng Awards 2025.
“Beliau dan suaminya membangun yayasan ini bukan karena berlebih, tapi karena hati. Sekolah ini tidak memungut biaya sepeser pun. Semua demi anak-anak,” kata Rulyin penuh haru.
Biaya operasional pun tak kecil. Hanya untuk seragam siswa, bisa mencapai belasan juta rupiah. Belum lagi buku tulis dan bacaan yang mencapai Rp 8 juta lebih per semester. Namun Ipda Densy tidak pernah menghitung. Yang terpenting baginya, anak-anak bisa belajar dan memiliki masa depan.
“Saya tidak ingin anak-anak perbatasan ini tertinggal. Mereka punya hak yang sama untuk bermimpi dan berhasil, seperti anak-anak di Pulau Jawa,” tegasnya.
Di tengah segala keterbatasan, Yayasan Gracia Hati Mulia berdiri teguh sebagai simbol harapan. Di sana, bukan hanya ilmu yang diajarkan, tapi juga cinta, kehangatan, dan masa depan.
Di tengah kesibukan dan tantangan bertugas sebagai anggota Polri, Ipda Densy memilih berjalan lebih jauh — melayani dengan hati, membangun masa depan bagi mereka yang nyaris kehilangan jalan.