Membumikan Keadilan: Filsafat Hukum UU TPKS Menurut Kombes Pol Henry Novika Chandra, S.I.K., M.H

Membumikan Keadilan: Filsafat Hukum UU TPKS Menurut Kombes Pol Henry Novika Chandra, S.I.K., M.H

Kupang, NTT – Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah menjadi tonggak penting dalam sejarah hukum pidana Indonesia. Sejak disahkan, undang-undang ini membawa harapan baru bagi para korban kekerasan seksual yang selama ini sulit mendapatkan keadilan. Namun, bagaimana sebenarnya UU TPKS dilihat dari kacamata filsafat hukum? Dan sejauh mana implementasinya di lapangan? Kombes Pol Henry Novika Chandra, S.I.K., M.H., selaku Kepala Bidang Humas Polda Nusa Tenggara Timur, berbagi pandangan filosofis dan praktisnya terhadap UU TPKS.


Hakikat Keberadaan UU TPKS: Melindungi Martabat Kemanusiaan

Dari sudut ontologi hukum, Kombes Henry menegaskan bahwa UU TPKS bukan sekadar perangkat hukum biasa, melainkan wujud pengakuan negara terhadap realitas sosial yang selama ini tersembunyi.

“UU ini hadir sebagai bentuk keberpihakan pada korban, yang selama ini kerap menjadi pihak yang disalahkan. Ini soal martabat manusia. Negara tak boleh tutup mata terhadap penderitaan mereka,” ujar Kombes Henry.

Menurutnya, kekerasan seksual bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi. Oleh karena itu, eksistensi UU TPKS mencerminkan kewajiban moral negara untuk hadir sebagai pelindung warganya, terutama mereka yang rentan.


Nilai yang Diperjuangkan: Keadilan, Pemulihan, dan Pencegahan

Dari perspektif aksiologi hukum, Kombes Henry menjelaskan bahwa UU TPKS membawa misi luhur yang mencakup perlindungan menyeluruh terhadap korban kekerasan seksual.

“UU TPKS ini lebih dari sekadar menghukum pelaku. Ini tentang memberikan ruang penyembuhan dan rasa aman bagi korban, serta mengedukasi masyarakat untuk mencegah kekerasan terjadi,” jelasnya.

 

Menurut beliau, nilai-nilai utama yang dijunjung UU ini antara lain:

 

Perlindungan terhadap korban, baik fisik maupun psikis.

 

Pencegahan kekerasan, lewat pendidikan dan perubahan paradigma sosial.

 

Keadilan restoratif, yang tidak hanya menghukum tetapi juga memulihkan.

 

Penghapusan ketimpangan gender, sebagai akar dari banyak kekerasan seksual.

 

Penerapan di Lapangan: Tantangan dan Harapan

Masuk ke ranah epistemologi hukum, Kombes Henry menyoroti bagaimana aparat penegak hukum harus mengubah pendekatan dalam menangani kasus kekerasan seksual. Menurutnya, pendekatan yang lebih victim-centered menjadi krusial.

 

“Kita harus sensitif. Korban itu bukan cuma butuh keadilan hukum, tapi juga rasa aman dan dihargai. Polisi harus bisa jadi tempat pertama yang membuat mereka merasa didengar dan dilindungi,” ungkapnya.

 

Ia menekankan beberapa hal penting dalam penerapan UU TPKS:

 

Mengakui perspektif korban dan trauma yang menyertainya.

 

Mengembangkan jenis-jenis pembuktian baru, seperti bukti digital.

 

Pendekatan multidisiplin, dengan melibatkan psikolog, pekerja sosial, dan tenaga medis.

 

Pelatihan khusus bagi penegak hukum, untuk membentuk kepekaan terhadap dinamika kekerasan seksual.

 

Strategi Efektif Implementasi UU TPKS di NTT

Kombes Henry juga memberikan beberapa saran agar UU TPKS benar-benar berdampak nyata di masyarakat, khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur yang memiliki tantangan tersendiri:

 

Sosialisasi Masif dan Berkelanjutan

“Kami di Polda NTT sudah mulai mengintensifkan edukasi melalui media dan kerja sama dengan tokoh masyarakat dan agama,” kata Kombes Henry.

 

Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum

Pelatihan tentang pendekatan berbasis korban terus ditingkatkan agar personel memahami konteks psikologis dan sosial korban.

 

Penguatan Layanan Terpadu

Kombes Henry menyebut pentingnya akses layanan pemulihan yang mudah dijangkau, terutama di wilayah pedalaman.

 

Sistem Pelaporan yang Aman dan Mudah

“Korban harus merasa aman saat melapor. Kita sedang kembangkan sistem pengaduan yang ramah korban, termasuk online,” imbuhnya.

 

Peran Komunitas dan LSM

Ia mengapresiasi keterlibatan LSM lokal yang menjadi garda terdepan dalam mendampingi korban, bahkan sebelum aparat masuk.

 

Pembentukan Satgas Khusus

Kombes Henry mendorong pembentukan unit khusus dengan anggota terlatih untuk menangani kasus kekerasan seksual secara cepat dan profesional.

 

Reformasi Kurikulum Pendidikan

Edukasi sejak dini mengenai kesetaraan gender dan pencegahan kekerasan seksual menjadi langkah jangka panjang yang harus ditempuh.

 

Pengawasan Berkelanjutan

Evaluasi dan audit implementasi UU secara rutin diperlukan agar celah-celah hukum bisa segera ditutup.

 

Penutup: Hukum sebagai Alat Pembebasan

Di akhir wawancara, Kombes Henry menekankan bahwa hukum, termasuk UU TPKS, harus menjadi alat pembebasan, bukan penindasan.

 

“Jika kita menjalankan UU ini dengan hati, bukan sekadar teks, maka kita sedang membangun peradaban yang lebih manusiawi. Itu tujuan utamanya,” tutupnya.

 

Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang filsafat di balik UU TPKS serta implementasi yang responsif dan inklusif, Indonesia bisa menjadi bangsa yang benar-benar melindungi martabat setiap warganya—khususnya mereka yang selama ini terpinggirkan dalam sunyi.